.
![]() |
| Korban jadi tersangka di Polsek Sungai Beduk, Anak jadi korban. Situasi ruangan di Polsek. |
Batam-Kliksuara.com // Apa yang terjadi dalam penanganan perkara dugaan pengeroyokan di wilayah hukum Polsek Sungai Bedukkini tak lagi sekadar persoalan prosedur. Kasus ini telah menjelma menjadi potret telanjang kegagalan penegakan hukum, sekaligus peringatan keras bagi masyarakat: melapor ke polisi bisa berujung menjadi tersangka, Rabu (24/12/2025)
Di bawah kendali Polresta Barelang, perkara yang semula jelas bermula dari laporan korban justru berakhir pada pembalikan fakta, pembengkokan logika hukum, dan dugaan kriminalisasi terang-terangan.
Korban dalam perkara ini adalah MW, seorang ibu rumah tangga dengan empat anak kecil. Pada 12 November 2025, MW melaporkan dugaan pengeroyokan yang dialaminya di rumahnya sendiri, di kawasan Pancur Tower I, Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sungai Beduk.
Peristiwa berawal dari pertengkaran rumah tangga yang bersifat privat. Namun suara cekcok tersebut diduga disalahartikan oleh seorang tetangga lanjut usia. Tanpa klarifikasi, tanpa konfirmasi, tanpa etika bertetangga, tuduhan sepihak dilontarkan dan diteruskan kepada anak-anaknya.
Akibatnya fatal.
Dua orang anak tetangga mendatangi rumah MW. Menurut keterangan korban, tanpa bertanya dan tanpa alasan hukum apa pun, keduanya diduga langsung melakukan kekerasan fisik secara bersama-sama terhadap MW. Korban tidak melawan. Pakaian korban robek. Kekerasan terjadi di ruang privat, terhadap seorang perempuan, oleh dua orang laki-laki.
Fakta ini yang kemudian dilaporkan ke polisi.
Dan di sinilah hukum mulai kehilangan arah.
Laporan MW diterima. Penyidikan berjalan. SPDP dikirim ke Kejaksaan Negeri Batam. Dua terlapor ditetapkan sebagai tersangka, ditangkap, dan ditahan. Secara hukum, perkara ini telah menemukan bentuknya: dugaan pengeroyokan.
Namun, alih-alih menuntaskan perkara sesuai fakta awal, proses hukum justru berbelok tajam dan mencurigakan.
Setelah mediasi dan klarifikasi, para tersangka pengeroyokan mengajukan laporan balik. Yang lebih mengagetkan, laporan balik ini diterima, diproses cepat, dan berujung pada penetapan MW sebagai tersangka dugaan penganiayaan.
Di titik ini, publik bertanya keras: Apakah hukum masih bekerja dengan akal sehat?
Atau telah berubah menjadi alat yang bisa dibengkokkan sesuai kepentingan?
Secara logika paling dasar, mustahil menempatkan korban pengeroyokan sebagai pelaku utama tanpa menghapus seluruh konteks awal. Dua orang mendatangi rumah satu orang. Kekerasan terjadi. Korban melapor. Lalu korban dijadikan tersangka. Jika ini dianggap wajar, maka seluruh bangunan hukum pidana patut dipertanyakan ulang.
Penyidik berdalih telah mengantongi dua alat bukti, salah satunya visum et repertum. Namun dalih ini justru memperparah krisis kepercayaan.
Publik mempertanyakan secara terbuka: Visum atas kejadian apa? Apakah luka itu terjadi sebelum, saat, atau setelah dugaan pengeroyokan? Bagaimana visum bisa menghapus fakta bahwa kekerasan bermula dari dua orang terhadap satu korban di rumahnya sendiri?
Jika visum dijadikan alat untuk mencuci ulang kronologi, maka yang terjadi bukan penegakan hukum, melainkan rekayasa konstruksi perkara.
Lebih ironis, aspek kemanusiaan sama sekali tak mendapat tempat. MW adalah ibu dari empat anak kecil. Namun realitas ini seolah tak berarti di hadapan berkas penyidikan. Hukum tampil dingin, kaku, dan tanpa nurani.
Kasus ini memunculkan kesan kuat bahwa penyidik gagal menjaga netralitas, bahkan membuka ruang dugaan adanya keberpihakan yang mencederai prinsip equality before the law.
Publik kini tidak lagi sekadar bertanya, tetapi menuntut:

