![]() |
Ilham Mendrofa : Sang Putra Nias |
Gunung Daik bercabang tiga.
Hancur badan dikandung tanah,
Budi yang baik dikenang juga.
“Seorang perantau sejati bukanlah mereka yang sekadar menyeberang laut, melainkan yang berani menyeberang nasib,”
Gemuruh mesin pesawat membangunkanku dari tidur kecil. Super AirJet mendarat mulus di Bandara Hang Nadim. Beruntung, tak perlu lagi singgah di Soekarno-Hatta: ada penerbangan langsung dari Radin Inten, Lampung, ke Batam.
Alhamdulillah, perjalanan terasa ringan. Seorang kawan menjemput, membawaku ke Hotel Wyndham Panbil di kawasan Muka Kuning—oasis teduh di tengah riuh kawasan industri elektronik.
Sore itu, udara Batam menyisakan getaran aneh. Saya merasakan denyut yang tak kasatmata: denyut orang-orang yang datang mengadu nasib. Pulau seluas 1.575 kilometer persegi, dengan 329 pulau besar-kecil yang mengitarinya, menjelma menjadi motor ekonomi nasional.
Dalam dua dekade terakhir, Batam tumbuh rata-rata di atas 7% per tahun, ditopang lebih dari 30 kawasan industri yang menampung ribuan perusahaan. Letaknya hanya 20 kilometer dari Singapura, menjadikan Batam pintu gerbang Indonesia ke dunia.
Saya mendampingi seorang senior, dan siang menjelang sore itu kami berbincang panjang. Soal ruas jalan Batam yang lebar dan mulus, soal tata ruangnya yang lebih terencana dibandingkan kota-kota lain yang tumbuh serampangan. Batam adalah laboratorium kota modern, meski tetap saja menyimpan dilema.
Ada cerita tersendiri tentang hotel tempat saya bermalam. Konon pemiliknya seorang perantau bermarga Aritonang. Ia lahir di kampung kecil Tarutung, pernah menjadi kernet angkot Tarutung-Sibolga. Kini ia tegak sebagai konglomerat Batam, dengan hotel ini sebagai monumen perjuangan hidup. Kisahnya bukan soal harta, melainkan keberanian menantang garis nasib.
Dan ternyata, Pak Aritonang bukan satu-satunya. Hari itu pula, saya bersua dengan Pak Hutapea, seorang pemilik pengusaha filter berkualitas berlisensi pemasaran se-Asia. Ia pun datang ke Batam dengan tangan kosong, merintis dari nol, kini hidup berkecukupan dan disegani.
Tak lama, saya juga bertemu Jaka, anak muda penuh "api". Dulu, ia sales suku cadang pabrik, kini pemilik perusahaan peralatan industri dengan cabang hingga Batam. Bahkan, memiliki kapal 10.000 DWT untuk menunjang usahanya. Dari obrolan singkat, saya tahu: Batam adalah rumah bagi mereka yang berani memulai.
Kisah-kisah serupa tersebar di sudut-sudut Batam. Ada yang berhasil mengubah strata kehidupan, ada pula yang kandas di tengah jalan. Di balik gemerlap kisah sukses, selalu ada air mata perantau yang tak tertulis. Batam, tanah janji sekaligus medan laga yang kejam.
Namun, pertumbuhan yang pesat itu juga melahirkan jurang. Kawan-kawan saya yang disebut sebagai warga tempatan dan pribumi yang sejak lama mendiami Batam sering merasa tercecer dalam arus pembangunan.
Ketika perantau datang membawa modal, jaringan, dan keberanian, mereka kerap hanya jadi penonton di tanah sendiri. Di pasar-pasar modern, di gedung-gedung pencakar langit, wajah mereka semakin jarang terlihat sebagai pemilik. Tapi saya masih meyakini: tak kan melayu hilang di bumi.
Inilah dilema Batam: antara menjadi etalase kemajuan bangsa, atau luka diam-diam bagi anak tempatan. Pertumbuhan ekonomi tak selalu menjamin pemerataan, dan sejarah akan menagih jawab.
Namun, Batam tetaplah kanvas besar tempat manusia melukis nasibnya. Ada warna cerah, ada yang kelam, tapi semuanya lahir dari keberanian untuk memulai.
Sukajadi, Batam Kota
27 September 2025